Setelah
menang melawan Komunisme pada abad ke-20, Barat menjadi penguasa tunggal. Di
puncak piramida kekuasaan, duduk super power Amerika Serikat, yang memegang
kunci-kunci kekuasaan dunia. Dengan segala kehebatannya itu, ada yang kemudian
berpikir bahwa setelah era dominasi peradaban Barat, maka tidak ada lagi
peradaban lain, dengan sistem pemikiran dan kehidupan yang berbeda dengan
peradaban Barat. Ketika itulah manusia sudah bersepakat untuk menerapkan
Demokrasi Liberal. Era ini merupakan akhir sejarah (the end of history).
Ungkapan the end of history itulah yang sangat populer di
pengujung abad ke-20, yang menempatkan Francis Fukuyama sebagai ilmuwan
terpopuler bersama Huntington, selama dekade 1990. Huntington terkenal dengan
bukunya Clash of Civilization and The Remaking of World Order; dan
Fukuyama populer dengan bukunya The End of History and The Last Man.
Menurut Fukuyama, setelah Barat menaklukkan rival idiologisnya: monarkhi
herediter, fasisme, dan komunisme, dunia telah mencapai satu konsensus yang
luar biasa terhadap demokrasi liberal. Ia berasumsi bahwa demokrasi liberal
adalah semacam titik akhir dari evolusi idiologi atau bentuk final dari bentuk
pemerintahan. Dan, ini sekaligus sebuah 'akhir sejarah' (the end of history).
(Francis Fukuyama,The End of History and the Last Man, hlm. 11).
Pada akhir sejarah, kata Fukuyama, tak ada lagi tantangan idiologis yang serius terhadap demokrasi liberal. Pada masa lalu manusia menolak demokrasi liberal sebab mereka percaya bahwa demokrasi liberal adalah inferior terhadap berbagai idiologi dan sistem lainnya, seperti monarki, teokrasi, fasisme, komunisme, totalitarianisme, atau apa pun. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan demokrasi liberal sebagai bentuk pemerintahan yang paling rasional. (Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hlm. 211-212).
Pernyataan Fukuyama
tersebut bukan saja sangat debatable, tetapi juga terbukti kontradiktif dengan sikap Barat sendiri.
Dalam memandang demokrasi, Fukuyama mengadopsi pendapat Huntington tentang
perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi. Dalam
kajiannya tentang "gelombang demokrasi ketiga", Huntington mengungkap
penelitian yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara Islam dan demokrasi.
Sebaliknya, ada korelasi yang tinggi antara agama Kristen Barat dengan
demokrasi. Diakui oleh Huntington, korelasi itu bukan merupakan hubungan sebab
akitab. Huntington memaparkan, "Namun, agama Kristen Barat menekankan
martabat individu dan pemisahan antara gereja dan negara (sekuler). Di banyak
negeri, pemimpin-pemimpin gereja Protestan dan Katolik telah lama merupakan
sosok utama dalam perjuangan menentang negeri-negeri represif. Tampaknya masuk
akal menghipotesakan bahwa meluasnya agama Kristen mendorong perkembangan
demokrasi." (Samuel P. Huntington, Gelombang Demokrasi Ketiga [Jakarta:
Grafiti, 1997], hlm. 89).
Tentang hubungan agama
dengan sekularisasi, Fukuyama mencatat bahwa liberalisme tidak akan muncul jika
Kristen tidak melakukan sekularisasi. Dan itu sudah dilakukan oleh
Protestanisme Bart, yang telah membuat adanya kelas khusus pemuka agama dan
menjauhkan diri dari intervensi terhadap politik. Tulis Fukuyama, "Kristen
dalam arti tertentu harus membentuk dirinya melalui sekularisasi
tujuan-tujuannya sebelum liberalisme bisa lahir. Agen sekularisasi yang umumnya
segera bisa diterima di Barat adalah Protestanisme. Dengan menempatkan agama
sebagai masalah pribadi antara Kristen dan Tuhan, Protestanisme telah
menghilangkan kebutuhan akan kelas pendeta yang terpisah, lebih luas lagi tidak
ada juga kebutuhan akan intervensi agama ke dalam politik." (Francis
Fukuyama, The End of History and the Last Man, hlm. 216).
Fukuyama menyorot dua
kelompok agama yang menurutnya sangat sulit menerima demokrasi, yaitu Yahudi
ortodoks dan Islam fundamentalis. Keduanya dia sebut sebagai "totalistic
religion", yang ingin mengatur
semua aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat publik maupun pribadi,
termasuk wilayah politik. Meskipun agama-agama itu bisa menerima demokrasi,
tetapi sangat sulit menerima liberalisme, khususnya tentang kebebasan beragama.
Karena itulah, menurut Fukuyama, tidak mengherankan jika satu-satunya negara
demokrasi liberal di dunia Islam adalah Turki, yang secara tegas menolak
warisan tradisi Islam dan memilih bentuk negara sekular di awal abad ke-20.
(Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, hlm. 217).
Klaim-klaim Fukuyama
sebenarnya sangatlah lemah. Tidaklah benar saat ini tidak ada tantangan serius
secara idiologis terhadap demokrasi liberal. Faktanya, pasca-Perang Dingin,
Islam masih dianggap sebagai tantangan idiologis yang serius. Sehingga,
negara-negara Barat sangat khawatir terhadap munculnya negara yang menerapkan
idiologi Islam. Sebab, menurut Huntington, Islam adalah satu-satunya peradaban
yang pernah membuat Barat tidak merasa aman. Kasus dukungan Barat terhadap
pembatalan pemilu di Aljazair yang dimenangkan oleh FIS menunjukkan bahwa Barat
menganggap ada tantangan serius terhadap idiologi FIS. Menurut Christoper
Ogden, dalam artikel View from Washington,Times, 3 Februari 1992,
tindakan AS yang mendukung permainan kekuasaan anti-demokrasi merupakan suatu
tindakan yang sangat keliru. Sikap AS dan Prancis yang menyatakan bahwa kudeta
Aljazair "konstitusional" tidak lain merupakan gejala penyakit gila
paranoid (ketakutan tanpa dasar) terhadap Muslim fundamentalis.
Sesudah peristiwa serangan terhadap menara kembar World Trade Centre di New York dan gedung departemen pertahanan AS Pentagon di Virginia, jenis paranoid Barat--khususnya AS--terhadap Islam semakin beragam. Dari yang bentuknya paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari sampai di tingkat legalisasi pemerintahan. Hanya karena namanya berbau Islam, atau wajahnya bercorak Arab, maka seseorang yang memasuki negara-negara Barat diperlakukan tidak manusiawi.
Ketika pada 2004 Turki
menggagas RUU yang menetapkan perzinaan sebagai satu bentuk kejahatan kriminal,
di samping kemudian menimbulkan kontroversi, yang menarik adalah bukan kalangan
dalam Turki saja yang ribut, tetapi juga pejabat-pejabat Uni Eropa. Pejabat
perluasan Uni Eropa, Guenter Verheugen, menyatakan bahwa sikap anti perzinaan
dapat menciptakan citra bahwa undang-undang di Turki mulai mendekati hukum
Islam. Bahkan, Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Straw menyatakan bahwa jika
proposal itu disahkan sebagai undang-undang, maka akan menciptakan kesulitan
bagi Turki.
Kasus di Turki ini
menarik untuk disimak, bagaimana masalah moral yang menjadi urusan internal
dalam negeri satu negeri Muslim ternyata mendapat perhatian besar dari
tokoh-tokoh Barat. Bahkan, dapat berdampak pada masalah politik yang serius.
Mengapa orang-orang Barat itu begitu khawatir jika rakyat Turki, melalui
parlemennya, memutuskan bahwa perzinaan adalah satu bentuk kejahatan? Ada apa
di balik semua ini? Mengapa mereka tidak membiarkan saja, sesuai dengan jargon
demokrasi liberal mereka, rakyat Turki untuk menentukan apa yang baik dan buruk
untuk mereka? Mengapa langsung saja mereka mengingatkan bahwa undang-undang itu
akan mendekatkan Turki kepada Islam?
Kasus Turki ini
sekaligus menjadi bukti bahwa Barat bersikap begitu paranoid terhadap penerapan
"hukum Islam", dan sekaligus mematahkan tesis Fukuyama tentang tidak
adanya tantangan didiologis yang serius terhadap demokrasi liberal pasca Perang
Dingin. Karena itu, klaim Fukuyama bahwa telah terjadi konsensus umat
manusiauntuk memeluk "demokrasi liberal" juga bisa dianggap
berlebihan. Klaim ini terlalu dini dan mendapatkan banyak kritik. Pada saat ini
sikap Barat juga paradoks. Di satu sisi mengkampanyekan 'pluralisme' sebagai
salah satu elemen dasar demokrasi liberal, tetapi pada sisi lain juga
memaksakan 'uniformitas' tentang keharusan menerapkan standar Barat dalam
berbagai aspek kehidupan manusia, seperti yang terjadi di Turki. Dukungan Barat
terhadap rezim otoriter yang anti-demokrasi di dunia Islam--hanya karena
rezim-rezim menjamin kepentingan bisnis dan ekonomi Barat--menambah pekatnya
kadar paradoksi Barat.
Demokrasi liberal
disamping menawarkan banyak kemudahan dan nilai-nilai positif, tetapi juga
menyimpan kelemahan-kelemahan internal yang fundamental. Dalam sistem inilah,
ilmu pengetahuan tidak dihargai. Orang pintar disamakan dengan orang bodoh.
Seorang profesor ilmu politik memiliki hak suara yang sama dengan seorang pemabuk
dan pezina. Seorang yang taat beragama disamakan hak suaranya dengan seorang
preman.
Kelemahan dan bahaya
internal demokrasi itu pernah diingatkan Plato, filosof Yunani Kuno. Plato
(429-347 SM) menyebut empat kelemahan demokrasi. Salah satunya, pemimpin
biasanya dipilih dan diikuti karena faktor-faktor nonesensial, seperti
kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga. Plato memimpikan
munculnya "orang-orang paling bijak" sebagai pemimpin ideal di sautu
negara, "Orang-orang paling bijak dalam negara akan menangani
persoalan-persoalan manusia dengan akal dan kearifan yang dihasilkan dari dunia
gagasan yang kekal dan sempurna." Penyair terkenal Muhammad Iqbal juga
banyak memberikan kritik terhadap konsep peemrintahan yang menyerahkan keputusannya
kepada massa yang berpikiran rendah. Kata Iqbal, bagaimanpun, para semut tidak
akan mampu melampaui kepintaran seorang Sulaiman. Ia mengajak meninggalkan
metode demokrasi, sebab pemikiran manusia tidak akan keluar dari 200 'keledai'.
Sebenarnya, Barat pun
sadar, demokrasi liberal tidak dapat diterapkan pada semua aspek kehidupan umat
manusia, khsusnya di duina internasional. Mereka tidak percaya bahwa umat
manusia yang mayoritas dapat menghasilkan keputusan yang baik untuk dunia
internasional jika bertentangan dengan kemauan mereka. Karena itu, sejak awal
berdirinya PBB, 24 Oktober 1945, Barat memaksakan sistem
"aristokratik", yaitu kekuasaan PBB diberikan kepada beberapa buah
negara yang dikenal sebagai "The Big Five" (AS, Rusia, Prancis,
Inggris, Cina). Kelima negara inilah yang mendapatkan hak istimewa berupa hak
'Veto' (dari bahasa lati, 'veto' artinya: saya melarang). Lima negara ini
merupakan anggota tetap dari 15 anggota Dewan Keamanan (DK) PBB. Sisanya 10
negara, dipilih setiap dua tahun oleh Majelis Umum PBB. Pasal 24 Piagam PBB
menyebutkan bahwa dewan ini mempunyai tugas yang sangat vital, yaitu
"bertanggung jawab untuk memelihara perdamaian dan keamanan
internasional". Jika satu resolusi diveto oleh salah satu anggota tetap DK
PBB, maka resolusi itu tidak dapat diterapkan.
Falsafah PBB yang
meletakkan sistem aristokratis ini menunjukkan bahwa demokrasi liberal adalah
sebuah pilihan yang tidak selalu didukung oleh Barat. Jika percaya pada
falsafah demokrasi, bahwa "suara rakyat adalah suara Tuhan", mengapa
Barat selalu menolak melakukan restrukturisasi PBB, yang sudah puluhan tahun
dituntut oleh mayoritas negara di dunia? Dunia sering disuguhi tontonan ironis
di PBB, ketika mayoritas anggota PBB di Majelis Umum menyetujui satu resolosi,
tetapi hanya karena satu negara anggota tetap DK tidak setuju, maka keputusa
PBB itu menjadi tidak bergigi. DK PBB juga tidak pernah berhasil mengeluarkan
resolusi yang mengecam berbagai tindakan AS. Dalam kasus penyerbuan AS ke
Panama, misalnya, ada dua draf resolusi yang diveto oleh AS.
Pada satu sisi, Barat
sendiri terbukti tidak konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip demokrasi,
yang konon memberikan ruang dan hak yang sama kepada setiap manusia, sesuai
prinsip "equality". Namun, pada sisi yang lain, apa yang dilakukan
Barat, juga merupakan realita demokrasi liberal itu sendiri, yang pada
praktiknya memiliki asumsi-asumsi ideologis mirip dengan Marxisme-Leninisme,
yang mengenal diskriminasi kelas sosial. Adalah pakar komunikasi Walter Lipmann
yang mengajukan teori A Progressive Theory of Liberal Democratic Thought. Dalam teori 'demokrasi progresif',
disebutkan bahwa untuk menjalankan demokrasi secara lebih baik, maka masyarakat
dibagi dalam kelas-kelas.
Paradoks
Demokrasi di Barat
Fenomena teori
demokrasi liberal progresif versi Lipmann itu tampak mencolok dalam pemilihan
presiden AS tahun 2000. Pada 5 Desember 2000 Mahkamah Agung AS memenangkan
George W. Bush atas calon Demokrat, Al-Gore. Kasus ini telah memunculkan
berdebatan yang sengit di AS. Bugliosi mengungkap sebuah realitas ironis
tentang demokrasi: 'pengkhianatan Amerika'. Bagaimana sebuah pemilihan kepala
negara terkuat dan negara demokrasi terbesar di dunia, akhirnya justru
diserahkan keputusannya kepada lima orang hakim di sebuah lembaga tinggi
negara. Padahal, popular vote, suara rakyat, lebih banya berpihak kepada Al-Gore. Dengan
fakta ini, presiden AS George W. Bush didukung oleh minoritas. Pemenangan Bush
oleh Mahkamah Agung AS itu digambarkan Bugliosi sebagai "like
the day of Kennedy assassination". (Vincent Bugliosi, The Betrayal of America: How the
Supreme Court Undermined the Constitution and Chose Our President [New York: Nation Books, 2001]).
Setelah Bush memangku
jabatan Presiden AS, kontroversi demi kontroversi terus merebak ke seluruh
penjuru dunia. Apalagi, setelah Bush memerintahkan tentaranya menduduki Irak,
Maret 2003. Belum pernah dalam sejarah dunia menyaksikan gelombang aksi unjuk
rasa anti-AS yang begitu ramai di berbagai penjuru dunia seperti pada tahun
2003. Sampai-sampai ribuan orang warga AS sendiri harus ditahan, menyusul aksi
mereka menentang serangan ke Irak, di berbagai kota di AS. Amerika menyerang
Irak tanpa persetujuan dan mandat DK PBB--satu tata aturan yang telah
ditetapkan sendiri oleh AS dan sekutu-sekutu Perang Dunia II.
Maka, serangan AS
terhadap Irak, tanpa mandat PBB, secara jelas menunjukan akhir dari tata dunia
yang diatur oleh AS. Hukum internasional telah diabaikan. Kekuatan adalah
kebenaran. Might is right. Kontroversi merebak di seluruh dunia.
Dunia internasional sebenarnya secara mayoritas sering berseberangan denan AS dan tata dunia yang dipimpinnya. Hanya karena faktor kekuatan dan pengaruh AS yang masih begitu kuat, maka muncul pikiran pragmatis untuk mengikuti saja apa kehendak dan perintah AS. Di dunia Islam, berbagai kasus semacam ini terlihat begitu mencolok, seperti dalam kasus Pakistan dan Taliban. Jika pada masa Perang Dingin sampai tahun 1996 Pakistan adalah pendukung kuat Taliban, maka situasi itu berubah total setelah AS menetapkan Taliban sebagai musuhnya. Prof. Robert Hunter Wade, Guru Besar ekonomi politik di London School of Economisc menyamakan posisi AS di dunia saat ini seperti posisi Kekaisaran Romawi yang berlaku sewenang-wenang terhadap dunia.
The
End of the West?
Gagasan Fukuyama
semakin tidak menarik ketika dunia Barat sendiri terbelah sikapnya dalam
berbagai masalah. Sehingga, memunculkan gagasan tentang the end of
the West, akhir sejarah Barat
atau akhir peradaban Barat. Benarkah 'the West' telah berakhir?
Thomas L. Friedman
menulis satu kolom di International Herald Tribune (3 November 2003) berjudul "Is this
the End of the West?" Barat memang telah pecah. AS dan Eropa, khususnya Jerman dan
Prancis, telah berbeda dalam banyak hal prinsip. Mantan Perdana Menteri Swedia
Carl Bildt menyatakan, selama satu generasi Amerika dan Eropa bersepakat dalam
satu hal (tahun): 1945. Namun, kisi semua itu sudah berubah. Bagi Eropa, tahun
penting adalah 1989 (keruntuhan Soviet), sedang bagi AS adalah 2001 (Tragedi
WTC). Eropa dan AS juga gagal membangun visi bersama dalam menghadapi isu-isu
global. "Kita juga gagal mengembangkan visi yang sama tentang hendak ke
mana kita dalam menghadapi isu-isu global yang menghadang kita," kata
Bildt.
Karena itu, banyak
yang menggugat ketika Fukuyama melontarkan pendapatnya tentang The End of
History dengan kemenangan
akhir di pihak Demokrasi Liberal Barat. Benarkah demikian? Akhir sejarah yang
bagaimana? Pasca-serangan terhadap Irak tahun 2003 justru mulai bermunculan
wacana "The
End of the West" atau "The End
of America" Pada Desember 1999, Aida Parker
Newsletter menyebarkan satu
artikel melalui internet berjudul "END OF AMERICA'S EMPIRE?", yang memaparkan kondisi Imperium Romawi
menjelang kejatuhannya. Ditulis dalam artikel itu bahwa sebelum keruntuhannya,
seorang orator Romawi, Cicero, memberikan nasihat agar Romawi menyeimbangkan
anggarannya, mengurangi utang publik, mengontrol keangkuhannya, dan mengurangi
bantuan terhadap wilayah-wilayah asing. Nasihat Cicero itu tidak dilaksanakan.
Dan pada 476 M Romawi runtuh. Seperti kata Bernard Shaw, "Romawi runtuh,
Babylon runtuh, dan akan tiba giliran Amerika." (Wacana tentang keruntuhan
Imperium Romawi banyak dikaitkan dengan tanda-tanda kemunduran peradaban Barat
atau Amerika saat ini. Kajian tentang ini selalu merujuk pada karya Edward
Gibbon, The Decline and Fall of Roman Empire).
Sebagai kekuatan
hegemonik, Barat, dalam hal ini AS, memang tidak mau disaingi. Ia ingin menjadi
kekuatan tunggal. Berbagai intervensi AS dilakukan dalam rangka memelihara
hegemoni atas dunia internasional. William Blum, mantan pejabat Deplu AS,
menyebutkan, ada empat tujuan invasi-invasi AS, yaitu (1) membuat dunia terbuka
dan nyaman untuk globalisasi, terutama untuk perusahaan-perusahaan
multinasional milik AS; (2) meningkatkan pendapatan kontraktor-kontraktor
pertahanan yang telah banyak "bermurah hati" kepada anggota Kongres
dan penghuni Gedung Putih; (3) mencegah munculnya masyarakat mana pun yang
dapat memunculkan contoh alternatif bagi model kapitalis; (4) memperluas
hegemoni politik, ekonomi, dan militer seluas mungkin di muka bumi, dan untuk
mencegah munculnya kekuatan regional yang dapat menandingi supremasi AS, serta
menciptakan satu tatanan internasional dalam citra Amerika sebagai satu-satunya superpower. (Wiliam Blum, Rogue State: A Guide to the World's
Only Superpower [Claremont South
Africa: Spearhead, 2002], hlm. 14).
Dalam rencana Dephan
AS tahun 1992 disebutkan, "Tujuan pertama kita adalah mencegah bangkitnya
kembali kekuatan baru yang akan menjadi batu ujian ... kita harus tetap memelihara
mekanisme yang bisa mengancam setiap kompetitor agar tidak melebarkan
pengaruhnya ke wilayah yang lebih luas atau mendunia." (Wiliam Blum, Rogue State,
hlm. 24).
Keinginan untuk menjadi penguasa tunggal atau hegemonik pasa sisi lain juga mengindikasikan bahwa Barat, khususnya AS, memang sedang mengalami proses 'decline', sehingga tidak yakin dengan kekuatannya sendiri, atau merasa selalu dalam keadaan terancam eksistensinya. Kejumudan sudah melanda. Kebuntuan akan jalan keluar dari berbagai masalah yang melilit umat manusia belum juga berhasil ditembus. Karena itulah, sejak lama sejumlah ilmuwan Barat melihat tanda-tanda keruntuhan Barat. Tahun 1961, sejarawan Arnold J. Toynbee menulis tentang sikap AS yang tidak adil dan hanya mementingkan kekuatan-kekuatan besar, kaya, minoritas umat manusia, sebagaimana yang dahulu dilakukan imperium Romawi.
Tanda-tanda
kemunduran AS sudah banyak dipaparkan. Tahun 1985 utangnya sudah mencapai 1.823
milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya
diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 milyar dolar AS. Dengan politik
unilateralnya, beban yang ditanggung AS juga semakin besar. Duit ditebar untuk
menaklukkan negara-negara lain. AS mengalami apa yang dialami oleh Great
Powers sebelumnya, yang dikatakan Paul Kennedy sebagai "imperial
overstretch".
Benar,
faktanya, AS memang masih dominan dalam berbagai bidang hingga kini. Tetapi,
peradaban ini terbukti bersifat paradoks. Ia membawa berbagai kemajuan, tetapi
sekaligus juga penghancuran umat manusia. Marvin Perry menggambarkan paradoks
peradaban Barat dengan ungkapan, "Peradaban Barat adalah sebuah drama
besar namun tragis. Barat telah melupakan instrumen-instrumen akal yang
memungkinkan terjadinya keselarasan rasional antara alam fisik dan budaya
manusia .... Barat modern walaupun telah berhasil menyingkap berbagai misteri
alam, namun gagal menemukan pemecahan rasional bagi penyakit-penyakit sosial
serta konflik antar-bangsa. Sains, sebagai pencapaian besar para intelektual
Barat, sembari memperbaiki berbagai kondisi kehidupan, telah pula menghasilkan
senjata pemusnah massal. Walaupun Barat telah menjadi pionir bagi perlindungan
hak-hak asasi manusia, ia juga telah menghasilkan rezim-rezim totaliter yang
menginjak-injak kebebasan individu dan martabat manusia. Dan walaupun Barat
telah menunjukkan komitmen akan kesetaraan manusia, ia telah pula mempraktikkan
rasisme yang brutal."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar