Senin, 09 Juli 2012

ANAK KAMI PELAKUNYA


Kami kembali sendiri. Suara burung perkutut rasanya tambah jelas, juga debu-debu yang terbang menyerbu jendela. Anak-anak sudah pergi, mereka tak ada lagi di rumah ini. Menjemput hidupnya membangun legendanya sendiri. Ada yang ringan tapi kosong. Ada sesuatu yang pernah digenggam lepas dari tangan. Sebentar lagi usia ini jadi uzur, dan akhirnya berhenti.
Tak banyak lagi orang di sekeliling kami.  Hanya beberapa, sisanya tinggal menjadi ingatan, terselip di antara pembicaraan. Kami pun menjadi tua, rabun, kasihan, dan lamban. Seperti banyak orang seusia kami,  kami duduk meringkuk pada sudut kami sendiri. Menunggu sesuatu yang tanpa ditunggu pun bakal datang.
Berita-berita kematian mampir setiap minggu. Pukul delapan kemarin malam,  Pak Barkah meninggal. Malam dengan hujan yang lebat sekali. Got-got di depan rumah kami, penuh air tumpah ruah dalam bau sampah dan bacin. Kami sangat was-was, kuatir got-got itu tidak bisa menahannya dan mengirimkan banjir ke rumah kami.
Tetapi, untunglah, itu tidak terjadi. Dan besok pada akhir pekan, kami akan berangkat memakamkan Pak Barkah. Seorang yang baik, membanggakan, dan manusia yang puas pada dirinya sendiri. Sebenarnya kami tak mengenal betul Pak Barkah, namun kesehariannya membuat kami kehilangan dia. Dia selalu memakai baju yang sama. Seragam tentara hijau dengan badge merah-putih di sisi kiri atas lengannya, dan lambang garuda pada sisi lengan yang lain. “Pahlawan kesiangan,”lenguhku ketika pertama kali melihatnya. Menurut penuturannya, ketika remaja dia pernah berjuang melawan Jepang. “Sudah niatku untuk hidup demi nusa dan bangsa,” katanya suatu kali.
Kami tak tahu persis dia tinggal di mana, mempunyai keluarga atau tidak. Namun setiap kali ada peristiwa genting, dia ada di antara kami. Ketika setahun yang lalu, banjir melanda kampung kami, Pak Barkah sibuk membersihkan got-got dan parit-parit. Saat tetangga kami rumahnya kebakaran, Pak Barkah menyerbu masuk menyelamatkan penghuninya yang masih tertidur. Manakala ada pesta perhelatan, kami bertepuk tangan mengiringi Pak Barkah berjoget.
Kami sama-sama melihat ke luar jendela. Hatiku merasa tidak tentram. Sepertinya ada sesuatu yang mengerikan bakal terjadi. Lepas makan siang, menunggu makan malam, secangkir kopi pahit terhidang. “Apakah penjual tahu, sudah lewat sore ini ?” tanya suamiku. Tanpa perlu berpikir, kujawab, “Belum. Mungkin agak terlambat. Dia akan berhenti di depan pintu halaman, pastinya”.
Irama hidup di luar, tampak biasa-biasa saja. Malam sebentar lagi merambat,  beberapa anak berlarian masih dalam seragam sekolah, mengejar tukang es yang menyalakan radio keras-keras. Sampai kemudian kami mendengar jerit bel pintu rumah. Kami terkejut, dan saling menatap. Kami sudah lama tak pernah menerima tamu, sejak kami pensiun dan anak-anak pergi dari rumah.
Kami saling mengerling. Menunggu siapa yang akhirnya berinisiatif membuka pintu. Aku menoleh ke arah suamiku. Sekarang giliranmu. Dengan langkah lamban, dia bergerak, sandalnya tertinggal sebelah. Seorang pemuda berdiri di sana, wajahnya berkeringat dan tegang. “Silahkan masuk,” kataku.
Aku dan suamiku saling menatap, kami tak mengenalnya secara persis. Matanya tajam memandang kami dengan pandangan yang tak dapat kupahami. Usianya kurang lebih sama dengan Jaka, anakku. Bisa jadi,  salah satu dari teman anakku.
Pemuda itu duduk dengan ujung pantatnya. Tak mau sepenuhnya merapat pada kursi. Jantungku berdegup keras. Ada sesuatu yang sangat penting tampaknya yang akan dia sampaikan. Ada apa dengan Jaka ? Dengan sudut mataku, aku melihat suamiku mulai menggaruk-garuk kepalanya.
Pemuda itu membaca kegelisahan kami. Dia menelan ludah, dan mengigit bibirnya. Bukan Jaka. Aku menarik nafas lega. Tetapi puluhan orang yang lain. Serangkaian bom meledak pada sebuah rumah ibadat. Dan Jaka pelakunya. Dia ditangkap. “Sebagai pembunuh” desah hatiku.
Lututku bergetar, aku merasa seluruh diriku habis. Babak belur karena jatuh dari motor karena ngebut, mabuk, mencuri barang di supermarket, kecelakaan lalu lintas, atau tawuran --seperti yang pernah terjadi,  kekonyolan macam ini masih mampu kutanggung.  Tapi yang satu ini, entahlah. Tanpa sadar aku menatap tanganku, pada garis-garis yang lintang pukang di telapaknya.
“Mestinya bapak dan ibu bangga pada Jaka,”  cetus pemuda itu sambil melangkah ke arah pintu. Aku menatap punggungnya, dan berusaha keras mencerna kalimatnya. “Mengapa …,” kataku akhirnya dengan terbata. Dia sudah berjalan melewati halaman kami. Menghilang di balik tikungan. Sepeninggalnya waktu seolah berhenti bagi kami. Hari kemarin lenyap dan hari esok tinggal mengapung  dalam kekosongan.
Sejak Jaka ke luar dari rumah, kami tak banyak tahu lagi siapa-siapa saja teman dekatnya. Duapuluh tujuh tahun umurnya, dan pertanyaan-pertanyaan kami selalu dijawab pendek-pendek. Dia datang sesekali, langsung pergi ke dapur. “Mencari pekerjaan,”begitu jawabnya kalau aku bertanya apa kegiatannya.
Suamiku mengelus pundakku dan memelukku. Aku memejamkan mataku. Sejenak ada keharuan yang dalam. Bertahun-tahun sudah dia tak melakukannya, namun hari ini memang hari yang tidak biasa. Ia menarik nafas dengan berat, lalu menyalakan televisi. Gambar-gambar berkelebatan: iklan mobil keluaran terakhir – iklan telepon selular terakhir – pidato presiden – produk mie keriting terakhir - gosip para artis – kunjungan pejabat – tayangan pencarian hantu ... Suamiku memijit-mijit remote control. Akhirnya, kami melihat ambulans-ambulans diparkir pada pada pelataran sebuah gedung yang nyaris lantak, ratusan orang bergerombol, polisi-polisi, teriakan dan tangisan, altar bersimbah darah.
Aku tak tahu apa yang dikatakan penyiar televisi. Tak ada satu kata pun yang kumengerti, otakku ogah mencerna. Seolah seseorang telah mematikan suara dari televisi. “Ini hari apa? ” tanya suamiku. “Jum’at,”kataku pendek. Ya, hari ketika sebagian orang di kampung kami pergi ke masjid, dan sebagian lagi berangkat ke gereja. Kami sendiri tak pernah menandainya.
Seminggu sudah kami bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan. Benarkah Jaka melakukannya ? Keraguan ini menyimpan harapan. Hidup adalah keputusan-keputusan, begitu kataku suatu hari kepada Jaka. Saat ia bingung memilih. Jangan menyakiti orang lain, kataku kali lain ketika dia begitu berang hendak memukul sahabatnya. “Karena kamu pun bakal sakit jika hal itu terjadi padamu,” tambahku sambil membawakan air putih.
Jaka membutuhkan kami. Kebulatan itu yang akhirnya membawa kami ke luar rumah. Hari-hari terakhir ini, kami tak lagi punya keinginan apapun, bahkan untuk menikmati sore di halaman rumah kami. Serakan daun jambu air di tepi pagar sudah penuh dan menguning, buah-buahnya tampak pecah bertebaran di tanah. Biarlah. Kami tak sanggup menatap mata tetangga.
Taksi yang kami tumpangi menuju kantor polisi tempat Jaka ditahan sementara, melambankan lajunya. Kami melewati rumah duka, peti-peti jenazah berjajar dalam ratusan karangan bunga dan ucapan duka cita. Satu demi satu, peti-peti itu diangkat ke dalam mobil jenazah.
Segerombolan orang berpakaian hitam berjalan di belakang iring-iringan itu. Wajah-wajah mereka tampak layu dan berat. Rombongan itu tiba-tiba terhenti.  Seorang ibu seusiaku berteriak histeris, tubuhnya limbung dan tangisnya meledak dalam lolong panjang. Jatuh  terduduk dengan kepala dan tangan menengadah ke langit, “Anakku ! Anakku !” Dadaku mengembung dan nafasku terengah-engah, sepertinya tak ada udara yang sanggup kuhirup. Aku merasakan pundak suamiku bergetar. Adakah yang lebih pahit selain mengantarkan anak ke pekuburan?
Kami menapaki tangga demi tangga gedung tua peninggalan Belanda yang kini dijadikan kantor polisi. Diminta mengisi buku tamu dan nama orang yang dijenguk. Tanganku bergetar, dan pulpen yang kupegang  jatuh. Akhirnya suamiku yang melakukannya. Kami tak pernah membayangkan bahwa pada suatu hari, kami akan berada di sini. Dengan alasan ini pula.
Segerombolan polisi masuk sambil menelikung seseorang yang wajahnya penuh bilur dan bekas pukulan. Dia terus memberontak, untuk melepaskan diri. Aku mencium bau darah, ruang tunggu ini pengap dan terlalu banyak orang. Suasana panas, pada tiap dinding hadir serentetan biang pertengkaran. Kami diminta menunggu.
Jaka menolak menemui kami, begitu kata pengacaranya beberapa hari yang lalu. Kabar itu kami terima lewat telepon. Tapi kami terus mendesak: mungkin dia malu, atau merasa bersalah, atau takut tangisnya meledak dalam dekapan kami. Jika itu alasannya, maka aku akan menjenguknya setiap saat dan menanggung kepahitannya. “Bapak dan ibu boleh coba,” kata pengacaranya kemudian.
Pintu dari arah ruang tahanan terbuka. Sekelebat aku melihat sosok tubuh Jaka diantara kerumunan orang yang lalu lalang. Mereka menyalami Jaka dengan hangat. Beberapa menepuk-nepuk pundaknya dengan bangga. Aku pun melihat si pemuda pembawa berita berdiri menatap Jaka dengan mata kagum. “Terima kasih, terima kasih,” sambut Jaka dengan senyum lebar. “Terima kasih untuk dukungan dan doa kalian. Misi kita sudah diridloi” tambahnya dengan suara ditekan perlahan. Penuh haru ia memeluk beberapa orang di antara mereka.
Beberapa  orang polisi berjaga di depan ruang kunjung, tampak tidak begitu perduli. Mereka mencoba berdiri tegak kendati dengan mata lelah dan terkantuk-kantuk. Jaka memakai kemeja putih dan celana jeans. Ia kini memelihara jenggot tipis. Ya. Dia anakku. Tapi aku merasa tak mengenalnya. Ada ruh lain dalam tubuhnya yang asing dan tak pernah kutahu. Kami menunggu di sudut ruangan, berharap arus pengunjung segera reda dan kami punya waktu tenang bersama Jaka.
“Ayah, ibu..,” tiba-tiba Jaka telah berada di depan kami. “Beri selamat selamat kepadaku, dong,” katanya sambil mengulurkan tangan. Suamiku membalikkan tubuhnya ke dinding, tangisnya terdengar patah-patah. Aku menatap mata Jaka. Mencoba menembus lebih dalam, mencari-cari sesuatu yang lain. Sesuatu yang sanggup kembali menautkan aku dan dia.
Namun aku tidak membaca sesuatu yang lain,  yang kutemukan semata kekuatan gelombang amarah pada sejarah yang membusuk.  Perutku terasa nyeri. Ada yang tersayat dalamnya, darah mengalir dari selakanganku.  “Maafkan bahwa kami telah membuatmu lahir,” Itulah kalimat terakhir yang aku dengar keluar dari mulutku. Setelah itu segalanya gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar