Namun selain tekad,
harus didukung dengan niat yang ikhlas, perencanaan, pelaksanaan dan juga
pengawasan yang baik. Tanpa itu semua hanya omong belaka.
Menghilangkan
kemiskinan boleh dikata mimpi atau hanya janji surga. Tapi mengurangi kemiskinan sekecil mungkin
bisa dilakukan. Ada beberapa program yang perlu dilakukan agar kemiskinan di
Indonesia bisa dikurangi.
Pertama, meningkatkan
pendidikan rakyat. Sebisa mungkin pendidikan harus terjangkau oleh seluruh
rakyat Indonesia. Banyaknya sekolah yang rusak menunjukkan kurangnya pendidikan
di Indonesia. Tentu bukan hanya fisik, bisa jadi gurunya pun kekurangan gaji
dan tidak mengajar lagi.
Dulu pada tahun
1970-an, sekolah dasar dibagi dua. Ada sekolah pagi dan ada sekolah siang
sehingga 1 bangunan sekolah bisa dipakai untuk 2 sekolah dan melayani murid
dengan jumlah 2 kali lipat.
Ini tentu lebih
efektif dan efisien. Biaya pembangunan dan pemeliharaan gedung sekolah bisa
dihemat hingga separuhnya. Mungkin ada yang berpendapat bahwa hal itu bisa
mengurangi jumlah pelajaran karena jam belajar berkurang. Padahal tidak.
Sebaliknya jam pelajaran di sekolah terlalu lama justru membuat siswa jenuh dan
tidak mandiri karena dicekoki oleh gurunya. Guru bisa memberi mereka PR atau
tugas yang dikerjakan baik sendiri, bersama orang tua, atau teman-teman mereka.
Ini melatih kemandirian serta kerjasama antara anak dengan orang tua dan juga
dengan teman mereka.
Selain itu biaya untuk
beli buku cukup tinggi, yaitu per semester atau caturwulan bisa mencapai Rp 200
ribu lebih. Setahun paling tidak Rp 400 ribu hanya untuk beli buku. Jika punya
3 anak, berarti harus mengeluarkan uang Rp 1,2 juta per tahun. Hanya untuk uang
buku orang tua harus mengeluarkan 130% lebih dari Upah Minimum Regional (UMR)
para buruh yang hanya sekitar 900 ribuan.
Untuk mengurangi beban
orang tua dalam hal uang buku, pemerintah bisa menyediakan Perpustakaan
Sekolah. Dulu perpustakaan sekolah meminjamkan buku-buku Pedoman (waktu itu
terbitan Balai Pustaka) kepada seluruh siswa secara gratis. Untuk soal bisa
didikte atau ditulis di papan tulis.
Ini beda dengan sekarang
di mana buku harus ditulis dengan pulpen sehingga begitu selesai dipakai harus
dibuang. Tak bisa diturunkan ke adik-adiknya.
Saat ini biaya SPP
sekolah gratis hanya mencakup SD dan SMP (Meski sebetulnya tetap bayar yang
lain dengan istilah Ekskul atau Les) sedang untuk Perguruan Tinggi Negeri
biayanya justru jauh lebih tinggi dari Universitas Swasta yang memang bertujuan
komersial. Untuk masuk UI misalnya orang tahun 2005 saja harus bayar uang masuk
antara Rp 25 hingga 75 juta. Padahal tahun 1998 orang cukup bayar sekitar Rp
300 ribu sehingga orang miskin dulu tidak takut untuk menyekolahkan anaknya di
PTN seperti UI, IPB, UGM, ITS, dan sebagainya. Meski ada surat edaran Rektor
bahwa orang tua tidak perlu takut akan bayaran karena bisa minta keringanan,
namun teori beda dengan praktek.
Boleh dikata
orang-orang miskin saat ini mimpi untuk bisa masuk ke PTN. Jika pun ada paling
cuma segelintir saja yang mau bersusah payah mengurus surat keterangan tidak
mampu dan merendahkan diri mereka di depan birokrat kampus sebagai Keluarga
Miskin (Gakin) untuk minta keringanan biaya.
Tanpa pendidikan,
sulit bagi rakyat Indonesia untuk mengurangi kemiskinan dan menjadi bangsa yang
maju.
Kedua, pembagian
tanah/lahan pertanian untuk petani. Paling tidak separuh rakyat (sekitar 100
juta penduduk) Indonesia masih hidup di bidang pertanian. Menurut Bank Dunia,
mayoritas petani Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,4 hektar. Bahkan ada
yang tidak punya tanah dan sekedar jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran
antar desa hingga jatuh korban jiwa hanya karena memperebutkan lahan beberapa
hektar!
Artinya jika 1 hektar
bisa menghasilkan 6 ton gabah dan panen 2 kali dalam setahun serta harga gabah
hanya Rp 2.000/kg, pendapatan kotor petani hanya Rp 9,6 juta per tahun atau Rp
800 ribu/bulan. Jika dikurangi dengan biaya benih, pestisida, dan pupuk dengan
asumsi 50% dari pendapatan mereka, maka penghasilan petani hanya Rp 400
ribu/bulan saja.
Pada saat yang sama
69,4 juta hektar tanah dikuasai oleh 652 pengusaha. Ini menunjukkan belum
adanya keadilan di bidang pertanahan. Dulu pada zaman Orba (Orde Baru) ada
proyek Transmigrasi di mana para petani mendapat tanah 1-2 hektar di Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Transportasi, rumah, dan biaya hidup selama
setahun ditanggung oleh pemerintah.
Program itu sebenarnya
cukup baik untuk diteruskan mengingat saat ini Indonesia kekurangan pangan
seperti beras, kedelai, daging sapi, dsb sehingga harus impor puluhan trilyun
rupiah setiap tahunnya.
Jika petani dapat
tanah 2 hektar, maka penghasilan mereka meningkat jadi Rp 48 juta per tahun
atau bersih bisa Rp 2 juta/bulan per keluarga.
Memang biaya
transmigrasi cukup besar. Untuk kebutuhan hidup selama setahun, rumah, lahan,
dan transportasi paling tidak perlu Rp 40 juta per keluarga. Dengan anggaran Rp
10 trilyun per tahun ada 250.000 keluarga yang dapat diberangkatkan per
tahunnya.
Seandainya tiap
keluarga mendapat 2 hektar dan tiap hektar menghasilkan 12 ton beras per tahun,
maka akan ada tambahan produksi sebesar 6 juta ton per tahun. Ini sudah cukup
untuk menutupi kekurangan beras di dalam negeri.
Saat ini dari 2 juta
ton kebutuhan kedelai di Indonesia (sebagian untuk tahu dan tempe), 60% diimpor
dari luar negeri. Karena harga kedelai luar negeri naik dari Rp 3.500/kg
menjadi Rp 7.500/kg, para pembuat tahu dan tempe banyak yang bangkrut dan
karyawannya banyak yang menganggur.
Jika program
transmigrasi dilakukan tiap tahun dan produk yang ditanam adalah produk di mana
kita harus impor seperti kedelai, niscaya kekurangan kedelai bisa diatasi dan
Indonesia tidak tergantung dari impor kedelai yang nilainya lebih dari Rp 8
trilyun per tahunnya. Ini akan menghemat devisa.
Ketiga, tutup bisnis
pangan kebutuhan utama rakyat dari para pengusaha besar. Para petani/pekebun
kecil sulit untuk mengekspor produk mereka. Sebaliknya para pengusaha besar
dengan mudah mengekspor produk mereka (para pengusaha bisa menekan/melobi
pemerintah) sehingga rakyat justru bisa kekurangan makanan atau harus membayar
tinggi sama dengan harga Internasional. Ini sudah terbukti dengan melonjaknya
harga minyak kelapa hingga 2 kali lipat lebih dalam jangka waktu kurang dari 6
bulan akibat kenaikan harga Internasional. Pemerintah tidak bisa berbuat
apa-apa.
Jika produk utama
seperti beras, kedelai, terigu dikuasai oleh pengusaha, rakyat akan menderita
akibat permainan harga.
Selain itu dengan
dikuasainya industri pertanian oleh pengusaha besar, para petani yang merupakan
mayoritas dari rakyat Indonesia akan semakin tersingkir dan termiskinkan.
Keempat, lakukan
efisiensi di bidang pertanian. Perlu dikaji apakah pertanian kita efisien atau
tidak. Jika pestisida kimia mahal dan berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan
predator alami seperti burung hantu untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika
pupuk kimia mahal dan berbahaya, coba pupuk organik seperti pupuk hijau/kompos.
Semakin murah biaya pestisida dan pupuk, para petani akan semakin terbantu
karena ongkos tani semakin rendah.
Jika membajak sawah
bisa dilakukan dengan sapi/kerbau, kenapa harus memakai traktor? Dengan
sapi/kerbau para petani bisa menternaknya sehingga jadi banyak untuk kemudian
dijual. Daging dan susunya juga bisa dimakan. Sementara traktor bisa rusak dan
butuh bensin/solar yang selain mahal juga mencemari lingkungan.
Kelima, data
produk-produk yang masih kita impor. Kemudian teliti produk mana yang bisa
dikembangkan di dalam negeri sehingga kita tidak tergantung dengan impor
sekaligus membuka lapangan kerja. Sebagai contoh jika mobil bisa kita produksi
sendiri, maka itu akan sangat menghemat devisa dan membuka lapangan
kerja. Ada 1 juta mobil dan 6,2 juta sepeda motor terjual di Indonesia dengan
nilai lebih dari Rp 200 trilyun/tahun. Jika pemerintah menyisihkan 1% saja dari
APBN yang Rp 1.000 trilyun/tahun untuk membuat/mendukung BUMN yang menciptakan
kendaraan nasional, maka akan terbuka lapangan kerja dan penghematan devisa
milyaran dollar setiap tahunnya.
Keenam, stop
eksploitasi/pengurasan kekayaan alam oleh perusahaan asing. Kelola sendiri.
Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh asing dengan alasan kita tidak
mampu dan sedang transfer teknologi. Kenyataannya dari tahun 1900 hingga saat
ini ketika minyak hampir habis kita masih ”transfer teknologi”.
Padahal 95% pekerja dan
insinyur di perusahaan-perusahaan asing adalah orang Indonesia.
Expat paling hanya untuk level managerial. Bahkan perusahaan migas Qatar pun di
Kompas sering pasang lowongan untuk merekrut ahli migas kita. Saat ini 1.500 ahli perminyakan
Indonesia bekerja di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar. Bahkan
ada Doktor Perminyakan yang bekerja di negara Eropa seperti Noewegia!
Sekilas kita untung
dengan pembagian 85% sedang kontraktor asing hanya 15%. Padahal kontraktor
asing tersebut memotong terlebih dulu pendapatan yang ada dengan cost recovery
yang besarnya mereka tentukan sendiri. Bahkan ongkos bermain golf dan biaya
rumah sakit di luar negeri ex-patriat dimasukkan ke dalam cost recovery, begitu
satu media memberitakan. Akibatnya di Natuna sebagai
contoh, Indonesia tidak dapat apa-apa. Kontraktor asing sendiri, seperti Exxon
sendiri mengantongi keuntungan hingga Rp 360 trilyun setiap tahun dari
pengelolaan minyak dan gas di berbagai negara termasuk Indonesia. Menurut PENA,
pada tahun 2008 saja sekitar Rp 2.000 trilyun/tahun dari hasil kekayaan alam
Indonesia justru masuk ke kantong asing. Padahal jitu bisa dipakai untuk
melunasi hutang luar negeri dan mensejahterakan rakyat Indonesia.
Bahkan untuk royalti
emas dan perak di Papua, Freeport yang cuma “tukang
cangkul” dapat 99% sementara bangsa Indonesia sebagai pemilik emas cuma dibagi
1%! Bagaimana bisa kaya?
Jadi kalau didapat emas dan perak sebesar Rp 100 trilyun, Indonesia cuma dapat
Rp 1 trilyun saja!
Banyak perusahaan
asing beroperasi menguras kekayaan alam Indonesia. Tetangga saya yang menambang
emas bekerjasama dengan penduduk lokal dengan memakai alat pahat dan martil
saja bisa mendapat Rp 240 juta per bulan, bagaimana dengan Freeport yang
memakai banyak excavator dan truk-truk raksasa yang meratakan gunung-gunung di
Papua?
Agar Indonesia bisa
makmur, maka Indonesia harus mengelola sendiri kekayaan alamnya.
Jika beberapa langkah
sederhana bisa dilakukan, niscaya Indonesia akan menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar