Praktik
doa bersama antaragama kian trendi saja di bumi Indonesia. Berbagai pihak
tampak bangga melaksanakan praktik "ibadah" yang pernah dikatakan
Hamka sebagai "upaya menyuburkan kemunafikan" itu.
Orang-orang
yang melakukan praktik doa bersama antaragama seolah-olah menganggap ibadah
yang mereka lakukan (doa bersama antaragama) itu merupakan alat ampuh untuk
mengatasi krisis yang sedang melanda negeri ini. Karenanya, berbagai tokoh
agama dan masyarakat terlihat antusias melaksanakan praktik ibadah sinkretis
itu.
Entah
mengapa, para ulama berdiam diri dan tidak melakukan sorotan serius terhadap
praktik ibadah baru (bid'ah) jenis ini. Bahkan, ketika
Presiden Gus Dur (waktu itu) menganjurkan agar umat Islam merasa memiliki dan
merayakan Natal bersama orang Kristen, MUI juga diam saja. Aneh, padahal fatwa
MUI tentang haramnya mengikiti perayaan Natal bersama (1981) masih belum
dicabut.
Dalam
perspektif Islam, tindakan amar ma'ruf dan nahi munkar (amru bil ma'ruf dan nahyi anil munkar) menempati
kedudukan penting. Banyak ayat Al-Qur'an dan hadis Nabi yang menjelaskan arti
penting dan kewajiban amar ma'ruf dan nahi munkar. Amar ma'ruf nahi munkar
artinya memerintahkan kepada yang baik (al-ma'ruf) dan
mencegah kemungkaran (al-munkar). Dalam sejumlah ayat,
kewajiban ini dikaitkan langsung dengan status dan kualitas iman seseorang.
Misalnya sabda Nabi saw., "Barang siapa di antara kamu yang melihat suatu kemungkaran,
hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika ia tidak mampu, ubahlah dengan
lisannya; dan jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya. Dan itulah
selemah-lemah iman." (HR
Muslim dan Ashabus Sunan).
"Dan
orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan
mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya ...." (At-Taubah: 71).
Jadi,
amar ma'ruf nahi munkar memang merupakan sebuah kewajiban yang sangat
ditekankan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, bahkan terdapat sejumlah dampak buruk
bagi masyarakat jika amar ma'ruf nahi munkar tidak ditegakkan. Siksaan dan azab
Allah akan turun kepada seluruh warga masyarakat, baik yang saleh maupun yang
zalim.
"Dan
jagalah dirimu dari bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim
saja di antara kamu. Dan, ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksanya." (Al-Anfaal: 25).
Jika
praktik doa bersama antaragama dan sejumlah kegiatan sinkretis lainnya yang
digelar oleh penguasa dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya dinilai sebagai
kemungkaran, lalu dibiarkan saja oleh kaum muslim, Allah berhak menurunkan
azab-Nya kepada seluruh bangsa Indonesia.
Sebelum
munculnya gerakan (Indonesia Berdoa 2000) menjelang Sidang Tahunan MPR 2000
lalu, dalam 2 tahun terakhir tercatat sejumlah acara doa bersama antaragama
yang cukup menonjol. Dalam acara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-53 (1998),
lima stasiun telivisi menyiarkan praktik doa lima tokoh agama. Acara doa
dimulai oleh seorang pendeta Protestan dan diakhiri dengan doa seorang tokoh
Islam yang ketika itu mengenakan sorban. Mereka berdoa kepada
"Tuhan." Entah, Tuhan yang mereka tuju dalam doa itu sama atau tidak.
Soalnya, pendeta Nasrani berdoa kepada Tuhan Yesus, sedangkan tokoh agama Hindu
dan Budha berdoa kepada Dewa, dan orang Islam berdoa kepada Allah SWT. Apakah
orang-orang itu berdoa kepada Tuhan yang sama?
Pada 20
November 1998, tokoh-tokoh berbagai agama yang berkumpul di rumah Ketua Umum
PBNU K.H. Abdurrahman Wahid, Ciganjur, juga melakukan praktik doa bersama
antaragama. Selain melakukan gelar doa bersama, para tokoh agama ketika itu
menyerukan agar memisahkan agama dari politik dan tidak melakukan praktik
politisasi agama. Setelah Gus Dur jadi presiden, praktik doa bersama antaragama
juga masih dilakukan. Ketika hadir di institut Mahatma Gandhi di Bali, 24
Oktober 1999, Gus Dur juga mengikuti praktik acara doa bersama beberapa
tokoh-tokoh agama.
Mungkin
praktik semacam itu sering dilakukan di lembaga internasional semacam World
Confrence on Religion and Prace (WCRP) yang pada saat itu Gus Dur menjadi salah
satu pimpinannya. Berbagai LSM yang menggelar acara "renungan" pun
acapkali menyertai dengan acara parade doa bersama disertai pawai lilin. Dalam
acara HUT PDI di Stadion Utama Senayan pada 27 Januari 2000 lalu, praktik doa
bersama antaragama semacam itu pun digelar. Lalu dalam acara konser "Badai
Pasti Berlalu," Chrisye, pada 18 Februari 2000 juga tidak lupa digelar
parade doa bersama antaragama.
Apakah
praktik ibadah semacam ini merupakan hal biasa atau sekadar gejala kegenitan?
Doa jelas bukan hal sembarangan. Doa adalah bentuk permohonan manusia kepada
Tuhan. Melihat maraknya praktik doa bersama antaragama semacam itu bisa jadi
tak lama lagi akan ada perubahan tradisi upacara kenegaraan. Jangan-jangan,
nantinya upacara Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka akan diakhiri
dengan doa bersama antar-tokoh agama untuk menunjukkan kerukunan umat beragama
di Indonesia. Jika sekarang agama yang diakui baru lima, nanti setelah Konghucu
diakui, bisa jadi akan menjadi enam jenis doa. Belum lagi jika kelompok
kebatinan bisa menuntut hak asasinya untuk turut serta dalam praktik doa
kolektif itu. Tambah ramai dan panjang doa bersama antaragama itu.
Perspektif
Teologis
Dalam
perspektif teologis, praktik doa bersama antaragama sebenarnya merupakan
"dagelan" yang lucu dan menggelikan. Tiap-tiap agama memiliki konsep
teologi (ketuhanan) yang sangat parakdoks satu sama lain. Di dalam acara doa
bersama antaragama, seorang pendeta Kristan/Katolik berdoa kepada Tuhan
Yesus/Tuhan Bapa/Roh Kudus. Kadang diucapkan oleh sang pendeta, "Wahai
Bapa yang ada di sorga!"
Orang
Kristen mengenal konsep Trinitas. Tuhannya orang Kristen lain dengan Tuhannya
orang Islam, sebab Tuhannya orang Kristen adalah Tuhan yang mempunyai anak.
Dalam Matius 3:17 disebutkan, "Maka suatu suara dari langit mengatakan,
'Inilah anakku yang kukasihi. Kepadanya aku berkenan." Juga, Lukas 4:41
menyebutkan bahwa Yesus itu adalah anak Allah.
Soal
"anak Tuhan" ini, dalam Kongres di Nicea tahun 325 yang di sponsori
oleh Kaisar Konstantin, muncul dua aliran. Kelompok pertama (aliran Arius)
mengatakan bahwa Tuhan Anak (Tuhan Yesus) itu diciptakan oleh Tuhan Bapa,
sedangkan kelompok kedua (aliran Athanasius) menyatakan bahwa Tuhan Bapa dan
Tuhan Anak adalah zat yang sama.
Orang
Kristen mempercayai Isa sebagai Tuhan Yesus. Mereka mendasarkan kepercayaannya
antara lain kepada kitab Wahyu pasal 22 ayat 13 yang menyebutkan, "Maka,
Aku inilah Alif dan Ya, yang terdahulu dan yang kemudian. Yang Awal dan Yang
Akhir," meskipun dalam pasal 21 ayat 6 Kitab Wahyu disebutkan, "Maka,
firmannya kepadaku: Sudahlah genap, Aku inilah Alif dan Ya, yaitu yang awal dan
yang akhir." Jadi, ungkapan itu sebenarnya ungkapan Tuhan yang di
sampaikan kepada Yesus.
Adapun
orang Islam meyakini bahwa Isa a.s. adalah seorang rasul, bahkan Al-Qur'an
mengecam keras keyakinan kaum Kristen itu, "Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata,
'Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putra Maryam,' padahal Al-Masih sendiri
berkata, Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.' Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah akan
mengharamkan surga baginya dan tempatnya ialah di neraka. Tidaklah bagi
orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya, kafirlah orang-orang yang
mengatakan 'Bahwasanya Allah adalah satu dari yang tiga,' padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak
berhenti dari apa yang mereka ucapkan itu, pasti orang-orang kafir di antara
mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka, mengapa mereka tidak bertaubat
kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya
telah berlalu sebelumnya beberapa rasul ...." (Al-Maa'idah: 72-75).
Jadi,
Al-Qur'an menyebut orang yang percaya pada konsep Trinitas dan ketuhanan Isa
sebagai orang kafir dan orang-orang itu sudah dijamin oleh Allah akan masuk
neraka (Al-Bayyinah:6). Dalam surah Al-Anfaal: 55 disebutkan bahwa "Binatang (makhluk) yang
paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, sebab mereka tidak
beriman." Itulah
konsepsi teologis Islam sebagaimana digambarkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an.
Sementara
itu, orang Kristen percaya bahwa orang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus
juga dianggap sesat dan harus diajak masuk Kristen. Oleh kelompok Doulos, orang
yang belum menjadi pengikut Injil dikatakan sebagai "suku terasing".
Karena itulah mereka merasa diwajibkan untuk menyebarkan Injil kepada seluruh
makhluk. "Dan kamu akan menjadi saksi bagiku, baik di Yerusalem, baik di
seluruh tanah Judea atau Samaria, sehingga sampai ke ujung bumi." (Kisah
Rasul-Rasul, 1:8). "Pergilah ke seluruh dania dan maklumkanlah Injil ke
seluruh makhluk." (Markus, 16:15).
Bisa
dibabayangkan, dalam perspektif teologis, tokoh agama Kristen dan Islam
sebenarnya berdoa kepada Tuhan yang berbeda. Yang satu berdoa kepada Allah SWT,
yang satu lagi berdoa kepada Tuhan Yesus. Yang satu lagi berdoa kepada Tuhan
yang tidak beranak dan diperanakkan, yang satunya lagi berdoa kepada Tuhan yang
punya anak. Tuhan Allah SWT (Tuhannya orang Islam) mengutuk orang yang percaya
kepada ketuhanan Isa. Sementara pada saat itu, orang Islam sedang berdoa
(beribadah) bersama dengan orang yang justru dikutuk oleh Tuhan yang dia tuju
dalam doanya. Apakah tidak kacau dan lucu? Lain halnya jika orang Islam yang
berdoa bersama itu juga percaya bahwa orang Kristen yang sedang berdoa di
sampingnya itu juga di ridhai oleh Tuhan Allah SWT, meskipun si Kristen
meyakini Allah SWT punya anak.
Belum
lagi perbedaan konsepsi teologis antara agama samawi dan agama non-samawi,
seperti agama Hindu. Semenjak abad ke-3 SM sampai sekarang, orang Hindu percaya
kepada tiga Dewa (Brahma, Siwa, Wisnu). Brahma yang mencipta alam ini; Wisnu di
gambarkan seperti empat tangan. Ia selalu menitis, artinya selalu menjelma
menjadi binatang atau orang, sesuai keadaan. Pernah ia menitis sebagai seekor
ikan, seekor kura-kura, dan pernah menjelma menjadi Rama untuk mengalahkan
Rahwana. Adapun Siwa, ia juga disembah sebagai Batara Guru dan juga disembah
sebagai Lingga.
Promosi
Kemungkaran
Baiklah,
mari berandai-andai, para pendoa dari berbagai agama itu berdoa kepada Tuhan
yang sama. Hanya namanya saja yang berbeda. Orang Islam menyebut-Nya Allah SWT;
orang Kristen menyebutnya Allah; orang Hindu menyebut Sang Hyang Widhi; orang
Barat menyebutnya God, dan sebagainya. Bisa saja, secara naluriah, manusia
mengakui Tuhan yang sama, yaitu Tuhan pencipta alam semesta. Nurani manusia itu
akan terefleksikan ketika manusia berada dalam bahaya besar, lalu secara
naluriah keluarlah ucapan, "Tuhan, tolonglah kami."
Hal itu
digambarkan oleh Al-Qur'an, misalnya, dalam surah Yunus ayat 22-23. Ayat ini
menceritakan kondisi orang-orang yang sedang berlayar dan kapalnya dihantam
badai, lalu mereka berdoa tulus ikhlas kepada Allah (da'a
wullaaha mukhlishiina lahud-diina). Mereka juga berjanji, jika
diselamatkan oleh Allah, mereka akan menjadi orang yang bersyukur. Akan tetapi,
ketika diselamatkan Allah, mereka kembali berbuat kezaliman di muka bumi. Surat
Al-Araaf: 172 juga menceritakan bahwa sebelum dilahirkan, manusia sudah
diperkenalkan kepada Tuhan mereka. "Bukankah Aku ini Tuhanmu," tanya
Allah. Para roh itu pun menjawab, "Benar, kami menjadi saksi."
Jadi,
sebenarnya naluri manusia mengakui Tuhan Yesus Yang Esa. Akan tetapi, setelah
akal manusia berkembang dan tercemar berbagai konsep teologis sesuai lingkungan
dan pendidikan pemahaman mereka tentang Tuhan, mereka menjadi beragam. Banyak
yang menolak konsep teologis yang benar (Islam), malah banyak pula yang
membuat-buat Tuhan versi sendiri atau menyekutukan Tuhan Yang Esa.
Dalam
perspektif Islam, tindakan penyekutukan Allah itulah yang dikatakan sebagai
tindakan syirik yang merupakan dosa dan kemungkaran besar. Dosa syirik tidak
akan diampuni oleh Allah SWT (An-Nisaa': 48). Siapa yang menyekutukan Allah,
Allah mengharamkan surga baginya (Al-Maa'idah: 72). Jadi, setiap tindak
kemusyrikan harusnya diberantas. Kepercayaan atau konsep teologis yang
menyatakan bahwa Allah mempeunyai anak atau Allah adalah salah satu dari tiga
oknum (trinitas), atau konsep trimurti (tiga dewa) adalah dosa dan kemungkaran
besar yang harus diluruskan dan diberantas oleh setiap muslim, sebagaimana
diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw.
Logisnya,
suatu kemungkaran tidak boleh dipelihara apalagi diberi kesempatan berpromosi
kepada masyarakat. Syirik jelas-jelas merupakan tindak kemungkaran besar, yang
seyogyanya tidak dipromosikan oleh kaum Msulim. Jika kaum Muslim, apalagi
tokoh-tokohnya, ikut mempromosikan kemungkaran, patut dikhawatirkan negeri ini
sedang diambang bahaya karena azab Allah SWT akan diturunkan, sebagaimana
disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad saw., "Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemungkaran,
sedangkan mereka tidak mengubahnya, datanglah saatnya Allah menjatuhkan
siksa-Nya secara umum." (HR
Abu Dawud).
"Kamu
harus mengajak mereka kepada yang ma'ruf dan harus mencegah yang munkar; jika
tidak (kamu lakukan), Allah pasti akan menjadikan orang-orang paling jahat di
antara kamu sebagai pemimpinmu (pengusa); dan jika orang-orang baik di antara
kamu berdoa, doa mereka tidak dikabulkan." (HR Al-Bazzar dan Tabrani).
Dalam
perspektif teologi Islam, acara doa bersama antaragama jelas-jelas merupakan
promosi kepercayaan batil. Apa jadinya jika kaum Muslim yang seharusnya
mengubah kemungkaran, malahan ikut-ikutan meramaikannya? Apakah pantas doa
mereka dikabulkan oleh Allah? Merujuk hadits Al-Bazzar dan Thabrani tersebut,
sikap kaum Muslim yang berdiam diri terhadap kemungakran besar seperti
perbautan syirik, bahkan berkomplot dan mempromosikankannya, tidak saja
menimbulkan dampak tidak dikabulkankannya doa mereka oleh Allah, tetapi juga
berdampak pada tampilnya orang paling jahat sebagai pemimpin kaum Muslim. Na'udzubillah.
Doa
itu Inti Ibadah
Dalah
perspektif Islam, doa adalah praktik ibadah yang telah diatur tata caranya
dengan ketat. Dalam sebuah hadis yang diriwatkan Imam Tirmidzi, Nabi saw.
menyebut doa sebagai mukhkhul ibadah
(intisari ibadah). Nabi saw. juga menyatakan, "Doa itu sendiri adalah ibadah." (HR Ibnu Hibban). Sementara itu,
Al-Hakim meriwaytkan hadits yang menyebut doa sebagai pedangnya orang Mukmin (shilatul mu'min).
Tata
cara doa diatur dengan ketat oleh Allah dan Rasul-Nya. Misalnya, diperintahkan
berdoa dengan sikap merendahkan diri dan suara yang lembut (Al-A'raf: 55).
Berkeyakinan bahwa doanya dikabulkan, bersikap baik sangka kepada Allah,
bersungguh-sungguh dalam berdoa, mengulang doa sebanyak tiga kali, dan
sebagainya. Waktu dan saat berdoa juga diatur dalam Islam, kapan doa yang
mustajab. Juga, siapa-siapa saja yang doanya maqbul.
Jadi,
begitu rincinya tata cara doa telah ditentukan. Tidak ada satu pun penjelasan
Al-Qur'an, hadits Nabi, atau pendapat ulama yang benar-benar alim dan saleh,
yang menganjurkan apabila ingin doanya diterima oleh Allah, berdoalah bersama
dengan pemeluk agama lain. Naif memang, jika ada yang mengatakan bahwa agar doa
orang Muslim dikabulkan Tuhannya, maka perlu dibantu oleh kaum kafir dan
musyrik.
Karena
itu, dapat disimpulkan, dalam perspektif teologis dan ritual keislaman, praktik
doa bersama antaragama benar-benar merupakan tindakan konyol, ngawur, lucu, dan
sangat menggelikan.
Doa
bukan acara main-main atau sekadar pajangan untuk sekadar
"pantes-pantesan". Belum pernah terjadi, Nabi saw. atau para
sahabatnya mensponsori acara doa bersama antaragama. Bahkan, ketika Nabi saw.
diajak melakukan praktik ubudiyah sinkretis oleh kaum kafir Quraisy, dijawab
dengan sifat tegas menolaknya, "Katakan, 'Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan, kamu bukanlah menyembah Tuhan yang aku sembah. Dan, aku
tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan (pula)
penyembah Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku." (Al-Kafiruun: 1-6).
Alkisah,
kaum kafir Quraisy sudah sangat gerah melihat sepak terjang Muhammad saw. yang
tak henti-hentinya mengecam praktik ubudiyah kaum (pragnis) Quraisy. Sejumlah
cendekiawan terkemuka Quraisy seperti Walid bin Mighirah, Al-Ash bin Wail, dan
Umayyah bin Kahlaf kemudian mendatangi Muhammad saw. Kata mereka, "Ya
Muhammad, mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah,
tetapi Engkau pun hendaknya bersedia menyembah apa yang kami sembah."
Kompromi
teologis semacam inilah yang dikecam keras oleh Al-Qur'an. Sebagai praktik
ibadahmahdhah, doa memiliki makna dan konsep yang khas dalam
tiap agama, dan tidak perlu digabung-gabungkan. Ini karena sejatinya, hal itu
merupakan paraktik sinkretis yang lucu dan menurut Hamka "menyuburkan
kemunafikan". Betapa tidak? Tiap-tiap pemeluk agama yang memiliki konsep
teologis yang berbeda "dipaksa" duduk bersama untuk berdoa kepada
Tuhan, yang jelas-jelas konsep ketuhanan mereka berbeda antara satu agama
dengan agama lain.
Toleransi
Semu
Praktik
doa bersama antaragama semacam ini akan semakin subur jika tiap-tiap pemeluk
agama sudah tidak menganggap penting konsepsi teologis agamanya masing-masing
dan mengganti dengan "nilai universal" yang bertumpu pada nilai
humanisme sekuler. Banyak yang melihat aspek doa bersama antaragama itu hanya
sebagai fenomena sosiologis semata, sebagaimana halnya dengan Praktik Natal
bersama dan sejenisnya.
Dengan
alasan utama demi toleransi beragama, praktik-praktik sinkretis
ditumbuhsuburkan. Bahkan, pernah--demi toleransi--penyebarluasan konsep tauhid
Islam dilarang oleh pemerintah. Tahun 1981, Kanwil P&K Jawa Timur melarang
peredaran buku PMP yang memuat tafsir surah Al-Ikhlas karena menyinggung
golongan penganut Trinitas. Pada 21 April 1981, Hamka mempersoalkan masalah ini
ke Pangkopkamtib Sudomo. "Kalau tafsir surah al-Ikhlas itu dilarang karena
mau menyinggung golongan yang bertuhan tiga, apa lagi artinya kami yang
meyakini keesaan Tuhan?" kata Hamka kepada Sudomo.
Praktik
sinkretisme cukup mendapat angin dengan tampilnya Gus Dur sebagai Presiden RI.
Pengakuan Gus Dur di Bali (24 Oktober 1999) bahwa ia seorang penganut paham
Gandhi, juga anjurannya agar kaum Muslimin ikut merayakan Natal (27 Desember
1999), menunjukkan bahwa dia seorang pendukung praktik sinkretisme. Gandhi
adalah seorang humanis, yang pernah menyatakan, "Setelah mempelajari lama
dan saksama, saya sampai kepada kesimpulan: (1) semua agama itu benar, (2)
semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya."
Sinkretisme
bukanlah cara bijak untuk menciptakan kerukunan umat beragama. Mungkin bisa
untuk jangka pendek. Akan tetapi, sementara tiap-tiap pemeluk agama masih
memegang teguh konsepsi teologisnya--tanpa mau kompromi sedikit pun--maka
sinkretisme justru akan menjadi "bom waktu" yang akan meledak kapan
saja ada faktor pemicunya. Maraknya praktik sinkretis dewasa ini hanya akan
mengulang kegagalan praktik rezim Orde Baru dalam mewujudkan kerukunan umat
beragama yang sejati. Ini karena pada saat yang sama, ganjalan-ganjalan
kerukunan umat beragama belum juga disingkirkan.
Coba
simak kasus hubungan Islam-Kristen. Hingga kini, kaum Kristen di Indonesia
masih menolak keras SKB tentang tata cara pandirian rumah ibadah (SKB No.1
Tahun 1969), juga SK Menteri Agama tentang Penyiaran Agama (SK Menag No. 70
tahun 1978), aplikasi UU Pendidikan Nasional yang mewajibkan anak didik
menerima pelajaran agama sesuai agama yang dianutnya (UU No. 2 tahun 1989), dan
sebagainya.
Sementara
itu, kaum Muslim masih menganggap peraturan-peraturan/perundang-undangan itu
sah dan berlaku. Jangan heran jika konflik SARA sebenarnya masih tetap
berlangsung, apalagi ada hadiths Nabi saw. yang diriwayatkan Imam Ahmad dan
Baihaqi dari Ibnu Abbas, "Setiap negeri (mishr) yang dibangun oleh kaum Muslim tidak
boleh dibangun di situ suatu sinagoga, gereja; tidak boleh dipukul binaaqus,
tidak boleh dijual daging babi, dan tidak boleh dijual khamr."
Bayangkan,
jika orang Kristen tetap melaksanakan konsep Injilnya (seperti Markus 16:15)
dan orang Islam juga mengamalkan hadiths Nabi saw. yang melarang pendirian
gereja tersebut, apa tidak lebih banyak gereja yang dibakar? Hal-hal seperti
inilah yang perlu dituntaskan dan dicarikan solusinya. Bukannya malah
menggalakan praktik sinkretis kerukunan semu berupa nyanyian bersama,
tari-tarian bersama, atau doa bersama antaragama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar